Minggu, 03 Juni 2012

Nona dan wajah kelinci

"Natalie!" Ucap suster Andita memberikan saran. "Karena tinggal di Orphanage, kita beri nama Natalie Orpha!" Tambahnya yang masih kekeuh dengan nama Natalie.  "Ah jangan terlalu bule, kita kan ada di tanah parahyangan, lebih baik nama-nama sunda sajalah, Nini misalnya, Nini Marini artinya cicit yang manis" Ucap suster Marta dengan lugas. " Ah suster tidak seru,  kita beri nama Anabelle saja, seperti nama-nama di negeri dongeng" Suara pelan Mikel dari balik pintu ikut menghiasi ruangan suster Maria.

Suster Maria kemudian tersenyum. Dia adalah kepala yayasan sebuah panti asuhan kristen. Meskipun berkeyakinan kristen, namun suster Maria menjunjung tinggi toleransi. Dia bahkan tidak melarang suster Marta yang 20 tahun silam lalu memilih menjadi mualaf. Ya memang hanya sebuah nama! Sebuah yayasan kristen yang telah tercampur modernisasi. Tidak ada aturan klasik di yayasan "Harapan Asih", yang ada adalah perbedaan itu saling mengasihi, itulah khotbah suster Maria setiap pukul 8 pagi.

"Memangnya selain anak itu, apa lagi yang kau temukan?" Tanya suster Maria dengan kaca mata berpantulkan tulisan. "Hanya ada keranjang dan sepucuk surat, bertuliskan... TITIP. Mungkin ibunya tidak bisa berbahasa Indonesia, singkat sekali isi pesannya!" Jawab suster Marta sambil membolak-balikkan kertas berukuran 20x15cm.

"Jadi suster, kita beri nama apa si rambut ikal ini?" Suara antusias Mikel menerobos masuk, namun tidak sepelan suara sebelumnya.

Suster Maria meletakkan Alkitab-nya di atas meja bundar. Kemudian dia berjalan mendekati suster Marta yang sekarang asik menggendong si pipi merah. "Natalie Orpha Nini Anabelle" Dia terdiam. Semua terdiam, semua bingung dengan ucapan suster Maria. "Yah suster, masa namanya kecampur-campur begitu. Manggilnya apa dong? Tanya Mikel yang tak mau diam. Suster Andita gemas sekali dengan wajah bundar Mikel, bocah laki-laki keturunan sunda asli yang kini dipeluk-nya dari belakang.

"Nona, kita panggil Nona, N untuk Natalie, O untuk Orpha,  N lagi untuk Nini, dan terakhir A ...  Anabelle, semua saran kalian diterima". Semua tersenyum memandang suster Maria, kecuali Mikel yang memang menginginkan nama kebule-bulean. "Yaaah kan dia  berkulit putih, putih sekali seperti gambar putri yang Mikel lihat sebelum tidur", ucap Mikel dalam hati.

Nona tersenyum!! Sekali lagi ia tersenyum. Sepenggal cerita yang sudah didengarnya empat kali telah menimbulkan dua lesung pipit yang bertengger di pipi kanan Nona . Nona jarang tersenyum, hanya bersama suster Marta dengan kisah kecilnya ia ingin tersenyum. Lantas apa yang salah dengan Nona? apa dia pemalu? Apa dia memiliki rahang-rahang kecil sehingga kedua bibirnya kesulitan tersenyum? Entahlah, bahkan Nona tidak begitu peduli! Tidak peduli dengan cibiran-cibirian seperti itu. Cibiran yang sudah ia dengar sejak kakinya terjatuh empat tahun lalu. Terjatuh dan meniggalkan  goresan luka di dengkul kirinya yang mungil.  Baginya hampir semua wajah yang ia lihat berwajahkan kelinci, hanya menunjukkan ekspresi manis di balik wajah kemunafikkan.

"Seperti sekumpulan kelinci bertubuh manusia!!" Ucapnya di balik kekosongan air mata. Itulah mengapa Nona benci sekali dengan kelinci, hewan manis berkuping panjang di balut gumpalan bulu yang menjadi simbol kemunafikan. Begitu manis hingga ia kesulitan menebak wajah mereka. Ya mungkin mereka. Atau ini semua hanyalah sebuah fatamorgana Nona! Bahwa mereka kini sedang menunggunya di barisan paduan suara (...)

Tidak ada komentar: